RSS

sejarah desa Pontak



1. Pra Sejarah Desa.
            Desa Poopo bukanlah sebagaimana yang ada sekarang, mulanya terbentang luas hutan belukar di perbukitan dan lembah yang datar. Dari perbukitan ini mengalirlah beberapa sungai  yaitu:                  
                        - Sungai Ranoiapo di sebelah timur.
      - Sungai Pangian di sebelah selatan.
      - Sungai Sigitoy di sebelah barat.
      - Sungai Tumicakal di sebelah utara.
            Diabad  16 daerah ini merupakan tempat berburu  dan mencari hasil hutan oleh suku Minahasa dan Bolaang Mongondow, kedua suku ini  dengan bebas melakukan kedua aktivitas tersebut. Lama-kelamaan terjadi perselisihan karena masing-masing mulai menyatakan batas-batasnya. Menurut pemimpin suku (raja)  Mongondow batas daerah mereka adalah sungai Ranoiapo sehingga mereka menanam bulu berduri yang disebut pa’kayu sebagai tanda batas di sepanjang sungai. Hal ini tidak disetujui oleh suku Minahasa sehingga terjadi perselisihan yang berkepanjangan, perselisihan ini ujung-ujungnya mengakibatkan peperangan diantara kedua pihak. Suku Minahasa dipimpin oleh Tonaas mengusir dan memukul mundur suku  Mongondow sampai ke sungai Poigar namun begitu masih ada diantara suku ini yang tertinggal yang kemudian bersembunyi di hutan-hutan dan membuat tempat tinggal di atas, di antara pohon-pohon kayu yang besar. Peperangan berakhir ketika seorang putera raja Mongondow melirik dan ingin mengawini puteri Minahasa sehingga timbul musyawarah antara kedua belah pihak. Hasilnya adalah daerah yang dipersengketakan dijadikan syarat untuk meminang puteri Minahasa untuk seterusnya menjadi wilayah suku Minahasa. Bukti kehadiran orang-orang Mongondow di tempat ini  ada pada nama sungai dan nama perkebunan
yang sampai sekarang tetap digunakan, seperti sungai Pangian, Sigitoy dan perkebunan Koyondom, Molibatang, Mopolo.
            Setelah berakhirnya peperangan melalui mufakat kedua suku ini maka keamanan di selatan Minahasa mulai dirasakan sehingga keinginan mengembara mulai tumbuh lagi termasuk diantaranya beberapa petani dari daerah tengah Minahasa. Salah satunya bernama Menajang, seorang yang kuat, yang cakap dan berani ingin ke selatan untuk bertani karena mendengar banyak tanah subur yang masih merupakan hutan. Menajang dengan beberapa teman dengan perlengkapan yang sudah dipersiapkan mulai melakukan perjalanan pengembaraan ke arah selatan. Pada suatu waktu saat mereka bangun pagi dilihat di kejauhan ada satu pemukiman baru (sekarang Pontak), mereka kemudian berjalan menuju ke lokasi tersebut dan sesampai di pemukiman itu mereka meminta izin menginap untuk beberapa hari. Selain menginap, mereka juga berbincang dengan tonaas di tempat tersebut dan mereka mendapat petunjuk untuk  merombak hutan di seberang sungai Tumicakal. Setelah itu Menajang dan teman-teman kembali ke daerah mereka di  Minahasa Tengah untuk mengabarkan tentang daerah baru dan mengajak lebih banyak teman dan keluarga pergi ke daerah baru tersebut. Alhasil ajakan itu diterima dan disambut sehingga terbentuk satu kelompok terdiri dari keluarga Menajang, Keluarga Purukan, Keluarga Kawatu, serta tonaas Tololiu, tonaas Kumajas, tonaas Ratu, tonaas Assa dan tonaas Talumepa yang siap berangkat. Sebelum berangkat Menajang menikah dengan seorang puteri bernama Reget dan dalam persiapan mereka menghubungi seorang walian bernama Tigau. Walian  diangkat biasanya dari seorang wanita yang cerdas, berperasaan halus sehingga boleh mengatahui tanda-tanda yang baik  atau buruk melalui bunyi burung, berani menghadapi malapetaka, tahan nafsu dan menjadi sumber segala  peraturan kesopanan dan adat istiadat di kampung. Sebelum rencana keberangkatan, Walian Tigau mengasingkan diri di bawah sebatang pohon besar di tengah malam untuk berdoa mencari jawab atas rencana tersebut. Melalui suara burung ia mendapatkan tanda dan jawaban bahwa perjalanan yang nantinya  dilakukan akan benar-benar sukses, jawaban ini disampaikannya kepada Menajang.
            Pagi-pagi benar setelah menyelesaikan perbekalan secukupnya, berangkatlah Menajang dan isterinya  bersama kelompoknya dan Walian Tigau. Didorong oleh tekad dan keyakinan bahwa perjalanan mereka akan sukses maka tak ada kesulitan yang
dirasakan di jalan walaupun harus melewati jurang, lembah, bukit, gunung dan sungai serta tantangan lain selama perjalanan. Akhirnya mereka tiba di salah satu tempat yang pernah didatangi Menajang dan teman-teman sebelumnya, yaitu Pontak. Saat beberapa lama mereka tinggal di tempat ini ada niat untuk melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi sungai Tumicakal ke tempat seperti yang ditunjukkan oleh tonaas di Pontak.

2. Berdirinya Perkampungan Poopo.
            Di  dataran antara sungai Tumicakal dan sungai Pangian  mereka menemukan tempat yang sangat cocok untuk dijadikan lahan bertani. Sebelum merombak hutan seperti biasanya mereka meminta petunjuk melalui Walian dengan mendengarkan suara burung dan ternyata suara burung memberi petunjuk bahwa tempat tersebut memang baik untuk dijadikan ladang pertanian. Mereka bekerja merombak hutan dari pagi sampai sore hari kemudian kembali ke Pontak, begitu seterusnya sampai saat mereka bercocok tanam berupa padi, jagung, dan lain-lain. Karena  masih bolak-balik ke Pontak, mereka membuatsabua atau tempat berteduh di kebun tempat bercocok tanam. Sabua  ini dibuat setinggi 2 meter dengan menggunakan tangga yang bisa dilepas atau diangkat pada malam hari selain sebagai tempat berteduh, sabua ini dapat melindungi mereka dari ancaman binatang buas apalagi pada waktu malam. Oleh mereka sabua ini sebut “popoh”/ “poopo”    dalam bahasa Tountemboan. Pada saat-saat tertentu mereka tinggal berhari-hari di sabua menjaga tanaman dari serangan binatang namun pada saat-saat tertentu pula mereka kembali ke Pontak memenuhi kebutuhan lainnya. Karena agak lama baru kembali ke Pontak sehingga setiap ketemu orang selalu menerima pertanyaan “kemana kamu selama ini” maka selalu dijawab “kami tinggal di popoh”. Lama kelamaan kata “popoh” menjadi sebuah kebiasaaan untuk menyebut tempat perkebunan/pertanian yang diolah Menajang, Reget dan Walian Tigau dan kelompoknya. Sebutan tersebut berlanjut ketika tempat ini kelak menjadi sebuah perkampungan.
            Seterusnya mereka mulai menetap dan  menjadikannya sebagai perkampungan untuk mereka dan keturunannya namun sebelumnya Walian Tigau berdoa kepada penguasa alam menanyakan apakah mereka boleh membuka perkampungan di tempat ini, dari suara burung mereka mendapatkan jawabannya. Kemudian mereka melaksanakan ritual peletakan batu.dengan memilih 3 buah batu agak besar berbentuk lonjong kira-kira panjangnya 50 cm yang diletakan masing-masing seorang satu batu secara berdekatan dalam bentuk segitiga (seperti 3 batu dodika) dan 9 anak batu di sekelilingnya. Di bawah masing-masing batu diletakkan persembahan untuk 3 Opo Empung yaitu 3 Allah yang maha kuasa yang berbeda-beda fungsi  sesuai keyakinan mereka waktu itu, yaitu :
-          batu pertama, syukur untuk Allah Pencipta
-          batu kedua, syukur untuk Allah Pemelihara
-          batu ketiga, syukur untuk Allah Penghukum
Ritual diakhiri dengan kata-kata Walian sebagai sumpah: “Barangsiapa yang datang di tempat ini dengan maksud jahat maka kejahatan akan menimpa dirinya tetapi yang datang di tempat ini dengan maksud baik, dia akan terlindung dari yang jahat dan dapat hidup sejahtera”. Sampai sekarang ketiga batu tersebut masih bisa dilihat di halaman/kintal Kel.Ratu-Sondakh (Sampel). Ketiga batu itu sering disebut “batu aitani ‘im pedoengan” (disebut juga “batu tumotowa”).
            Sesudah itu berdatanganlah rombongan petani dari Minahasa bagian tengah dan dari desa Pontak sebab rupanya di “popoh” ini tanahnya sangat subur karena di kelilingi sungai-sungai dan di sebelah barat terdapat pegunungan yang diliputi hutan lebat yang juga menjadi salah satu sumber kebutuhan hidup. Setelah menjadi sebuah perkampungan, semua urusan pemerintahan tetap berada di Pontak karena tempat ini masih termasuk kepolisian Pontak.

3. Lesung Batu.
Di pegunungan sebelah timur gunung Payung ada beberapa lesung batuyang kedalaman lubangnya berkisar 30 cm sehingga tempat ini dikenal dengan perkebunan lesung dan  ada lagi 2 lesung yang lebih kecil terletak di tepian sungai Pangian serta di daerah Tandoyang berada dalam telaga. Diduga lesung-lesung batu ini adalah peninggalan orang Spanyol dalam hal ini rombongan “bekas awak kapal dari armada Ferdinan Magelhaes, pengeliling dunia pertama (1521-1522) yang ditawan Portugis di Ternate kemudian ditahun 1524 melarikan diri ke Manado Tua (Babontahe) dengan bantuan pedagang Ternate dan orang Babontahe. Setelah itu mereka lari ke Uwuran (Amurang) dan terus ke Pontak suatu desa yang baru saja diperdirikan suku Tompaso” (dari buku Sejarah & Antropologi Budaya Minahasa, H.M.Taulu, h.14). Diwaktu itu tentu menyebutkan Pontak berarti sudah termasuk dengan tempat dimana lesung-lesung itu ada (di Poopo) dan menurut cerita lesung-lesung itu dibuat oleh mereka untuk mengolah batu-batu sungai yang mengandung emas di sepanjang sungai Pangian.
  


0 Responses to "sejarah desa Pontak"

Post a Comment

thanks so baca,. tertarik? kase komen dang,.

 
Return to top of page Copyright © 2010 | Flash News Converted into Blogger Template by HackTutors