RSS

Desa Senduk Tombariri




Letak negeri (wanua) Senduk ditinjau dari asal-usul kata/nama berada pada satu lokasi di ketinggian atau Kasendukan (Bahasa Tombulu). Hal ini benar secara geografis, negeri Senduk kedudukannya berada di ketinggian dibanding dengan desa/negeri tetangga yang berbatasan langsung. Adapun batas-batasnya (dahulu orang menyebut batas garis-wilayah kepolisian), sebelah Utara berbatasan dengan desa Ranowangko (Rano=air, Wangko=besar), sebelah Timur dengan desa Lola dan desa Ranotongkor, sebelah Selatan dengan desa Munte dan desa Tangkunei, sebelah Barat dengan dengan desa Po’opoh

Asal-Usul Penduduk – Pemukiman Awal
Mengenai asal-usul penduduk, erat hubungannya dengan awal pemukiman. Siapakah yang pertamakali datang merintis, tokoh-tonaas yang  mendirikan desa, darimana asalnya, dan kapan hal itu terjadi?

Pada sekitar tahun 1765, satu taranak (keluarga) besar yang berjumlah 16 KK datang dari arah Timur diperkirakan berasal dari Tomohon sebelah Selatan tepatnya daerah Sarongsong sekarang ini. Pimpinan kelompok taranak ini adalah seorang Tonaas yang bernama Mamuaya. Mereka awalnya datang dan bermukim di satu dataran sekitar 3 Km sebelah Tenggara desa Senduk sekarang. Daerah pemukiman awal ini kemudian dinamai Mawale (Tombulu, Ma=bekas, Wale=rumah, perumahan, perkampungan: Bekas Perkampungan). Dari tahun 1765-1769, mereka tinggal dan menetap di lokasi Mawale sampai akhirnya kelompok Mamuaya ini pun pindah. Alasan pindah karena ditimpa berbagai bala seperti sakit-penyakit sampar, gangguan adanya katak, ular yang sampai masuk dalam periuk-belanga.

Pada tahun 1769 masih di pimpin oleh Tonaas Mamuaya, mereka pindah ± 12 Km ke arah Barat di satu areal dataran tinggi yang kemudian disebut dengan nama Kaleneran (Tombulu, Lener=tenang, jernih). Pada saat mereka memohon petunjuk kepada yang maha kuasa (upacara adat Minahasa kuno) sampai selesai acara adat untuk persetujuan lokasi pemukiman, tidak terdengar suara burung Manguni – burung O’ot. Proses ‘Menalinga’ untuk mendengar suara bunyi burung sebagai tanda setuju dan tidak setuju tidak terdengar … sunyi, sepi, tenang bagaikan kesunyian malam. Mereka pun memutuskan untuk menjadikan lokasi itu pemukiman. Mereka hidup dari bercocok tanam (pertanian) dan berburu, menangkap ikan. Selama kurang lebih 30 tahun mereka hidup di Kaleneran, silih berganti para Tonaas melindungi mereka dan mereka pernah mengenal Tonaas Dotu Siow selain Dotu Mamuaya.

Pada tahun 1799 oleh berbagai sebab, antara lain luasnya daerah pemukiman dan terutama perkebunan mengakibatkan debet air bersih berkurang. Air yang mereka dapatkan dari Sungai Kaleneran dan Sungai Wagey mulai berkurang, selain karena kekurangan air datang pula sejumlah bala, sehingga memaksa mereka harus pindah. Kepindahan mereka menjadi dua kelompok taranak besar, yang satu dibawah pimpinan Tonaas/Dotu Siow berangkat ke arah Barat mendekati pesisir pantai atau tepatnya di desa Kumu dan sebagian ke desa Sondaken yang sekarang. Dotu Siow sendiri wafat dan dimakamkan di desa Sondaken. Sebagian kelompok Taranak ke arah Timur dibawah pimpinan Tonaas/Dotu Senge dan menempati lokasi ‘Senduk’ sekarang. Upacara Menanalinga dilakukan di sebuah bukit (Kasendukan) yang sekarang menjadi pusat asal-usul nama desa ‘ini. Atas petunjuk yang Maha Kuasa mereka melaksanakan upacara foso dan karena lokasi upacara berada di ketinggian mereka menyebutnya tempat itu Kasendukan asal nama Negeri Senduk ini yang didirikan pada tahun 1800.

Perjalanan sejarah yang cukup panjang yang telah dilewati telah membawa mereka dalam tali persaudaran yang kuat, sehingga dalam berbagai macam pekerjaan dikerjakan secara gotong-royong, bersama-sama atau disebut Mapalus.

Pemerintahan Tonaas/Dotu Sampai Hukum Tua
Adapun para pemimpin Tonaas/Dotu selama beberapa generasi:
Tonaas/Dotu Mamuaya 1765 – 1799 (Masa pengembaraan)
Tonaas/Dotu Senge 1799 – 1830 (Negeri Senduk berdiri thn. 1800)
Tonaas/dotu Kalumata, 1830 – 1859 (penataan lingkungan perumahan)
Tonaas Walewangko, 1860 – 1889 (penataan lingkungan dan batas desa)
Tonaas / Hukum Tua Laurens Wehantouw I, 1890 – 1900. (penataan administrasi keamanan desa)
          
Lingkungan Desa
            Dua buah sungai mengelilingi wilayah desa, di sebelah Barat desa terdapat sungai ‘ngaralewo’ (ngaran=nama, lewo=jelek; tidak baik. Orang tua-tua dahulu menamakan sungai ini ‘Kolintawu’ ada satu hal yang memalukan di sungai ini untuk kaum perempuan yang oleh generasi kemudian menganggap bahwa itu nama jelek, tidak baik, seronok, porno, sehingga dinamakan ‘ngaralewo’. Sungai ini memiliki latar belakang sejarah yang tidak baik atas suatu peristiwa yang terjadi di sungai tersebut sehingga dinamakan demikian), di sebelah Timur terdapat sungai ‘Wewelwel’ kemudian dikenal sekarang Ranoaker (Rano=air, eker/ekel=seho, pohon enau: sungai ini tempat membersihkan mayang pohon enau yang dipotong; sungai yang banyak ditumbuhi pohon seho. Sungai ini memanjang dari arah timur sepanjang desa – dari atas desa ke bawah desa). Kedua sungai ini mengalir di sepanjang desa yang memberikan mata air kehidupan. Sekarang ini, kondisi kedua sungai mulai tergantung pada musim penghujan, jika musim kemarau datang, debet air pun menurun. Hal ini terjadi akibat penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, lokasi pemukiman yang mulai melebar akibat pertambahan jumlah penduduk dan sebab lain yang mengganggu mata air sungai. Di musim kemarau desa Senduk sering kesulitan air. Sungai bagi penduduk desa sangat penting untuk kegiatan mandi, cuci dan mencari ikan (udang).

Lokasi ‘Angker’
21112010152.jpgPada zaman lampau, sebagaimana desa- desa tua lainnya di Minahasa, lingkungan desa Senduk memiliki tempat-tempat yang dianggap angker ‘dahulu tempat tersebut tidak sembarang didatangi’. Adapun tempat-tempat tersebut, seperti lokasi ‘Batu Raragesen’ satu lokasi pemujaan tempo doeloe. Konon batu-batu tersebut, tempat berdiam para dotu seperti dotu Kawulesan. ‘Batu Matuktukan’ tempat berdiam dotu Linkanbene, lokasi lain sungai kecil yang disebut ‘Spotot’, kemudian ‘Ririnteken’ (Ririntek=dipotong-potong halus) ini adalah lokasi perkebunan yang dahulu sebagai tempat pembantaian. Orang-orang yang tidak dikenal oleh masyarakat (dianggap musuh) ditangkap dan di potong-potong halus. Lokasi lain, daerah perkebunan ‘Sinogelan’=cungkel orang. Selain itu ada satu lokasi yang disebut ‘Gunung Wantik’ dalam salah satu nyanyian disebutkan lokasi negeriku kaki Gunung Wantik. Di Gunung Wantik ini, terdapat banyak kuburan waruga. Konon dahulu pertempuran dahsyat pernah terjadi di gunung ini dan banyak yang mati, ada yang mengatakan ‘mungkin’ anak suku Minahasa Bantik pernah singgah di gunung itu dan penduduk setempat kemudian menamakan Gunung Wantik. Di sini ada juga ‘Batu Kenturkure’ batu tempat meminta hujan – lokasi Warangka (tempat jahat) lokasinya di hutan besar. Sekarang ini lokasi Gunung Wantik merupakan daerah berburu, tapi awas konon banyak kejadian aneh di sana? hi iii.

Jika diamati, sebenarnya bukit Kasendukan yang menjadi lokasi pemukiman desa berada di lereng bukit Insarang yang melingkar dari Pinaras sampai Kasendukan. Sungai-sungai yang mengalir di desa Senduk tidak berasal dari desa lain tetapi dari pegunungan lereng bukit Insarang. Air sungai dari mata air murni pegunungan lereng bukit insarang.

Singkatnya, di desa Senduk dahulu ada 4 sudut tempat pemujaan: 1) Batu Raragesan berdiam dotu Kawulesan, 2) Batu Kaliwale berdiam dotu Kawulusan, 3) Batu Tiga Besar tempat dotu Linkanbene dan 4) Batu dotu Lokon. Hampir disetiap tempat yang tinggi, ditempatkan seorang dotu yang menjaga seperti di gunung Wantik ada dotu Wantian.

takken from source http://www.minahasaku.com/2012/03/negeri-senduk-tombariri-minahasa.html


0 Responses to "Desa Senduk Tombariri"

Post a Comment

thanks so baca,. tertarik? kase komen dang,.

 
Return to top of page Copyright © 2010 | Flash News Converted into Blogger Template by HackTutors